TIGA FENOMENA PENDIDIKAN SERTA PEMBAHASANNYA
Ester Hotmauli T (08-054)
Fenomena : Pendidikan pada kalangan petani di pelosok-pelosok desa.
Link jurnal : http://lppm.ut.ac.id/jp/32imam.htm
Masyarakat petani tradisonal, pada dasarnya mereka juga membutuhkan pendidikan dengan beberapa alasan. Sungguh tidaklah mungkin atau salah apabila masyarakat petani yang tinggal di pelosok-pelosok desa tidak memerlukan pendidikan.
Fenomena ini dapat ditinjau dari tiga aspek :
1. Pendidikan Keluarga
Ditinjau dari pendidikan yang diterapkan di dalam keluarga, umumnya keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama anak. Cara mendidik dalam keluarga, mempengaruhi reaksi anak terhadap lingkungan. Tingkat pendidikan orang tua akan berpengaruh pada pola pikir dan orientasi pendidikan anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua akan melengkapi pola pikir dalam mendidik anaknya,dalam jurnal yang dibaca pendidikan pada masyarakat pelosok desa sudah diterima, hanya bentuk-bentuk penyesuaian seperti adaptasi, (adaptasi ekologis, peranan tradisi, dan perjuangan hidup) masih menjadi kendala maka anak pada masyarakat desa sebenarnya sudah menerima pendidikan bebasis keluarga desa yang membuka diri pada pendidikan namun masih terkendala masalah yang ada bada kebudayaan mereka atau masih pada pendidikan yang sesuai dengan konteks tradisi setempat. Pada masyarakat petani ini, pendidikan yang paling pertama diajarkan adalah bagaimana cara setiap anggota masyarakat secara keseluruhan harus memiliki jaminan penuh terhadap kesempatan berpartisipasi, berkontribusi, dan atau bekerjasama di setiap upaya pembangunan pendidikan.
2. Pendidikan Bimbingan Sekolah
Secara umum masyarakat petani tradisional di kabupaten Pamekasan , mereka telah berhasil membangun pendidikan untuk anak-anak mereka. Seperti SD Inpres contohnya, dalam penelitian pada jurnal ini pembangunan SD Inpres tersebut sangatlah baik karena pembangunan gedung-gedung SD telah menjangkau seluruh pelosok pedesaan. Sehingga dewasa ini tidak ada satupun desa di kedua lokasi penelitian yang tidak memiliki SD. Pendidikan bimbingan sekolah yang diberikan oleh guru-guru di SD Pamekasan itu memiliki kaitan fungsional dengan kepentingan dan kebutuhan realistis masyarakat, dan atau kaitan organis dengan sistem sosial dan budaya masyarakat Pamekasan secara keseluruhan. Jadi guru-guru mengajarkan sesuai kemampuan mereka dan apa saja yang dibutuhkan murid-muridnya. Akan tetapi pembangunan pendidikan sekolah juga memiliki kendala, dimana secara eksternal sejumlah kendala yang muncul misalnya terutama karena masih lemah dan labilnya kepercayaan, kepedulian, partisipasi dan dukungan masyarakat sekitar sekolah. Dukungan dan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan masih labil. Antusiasme masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke SD pun masih sangat rendah atau setidak-tidaknya bersifat "setengah hati". Dalam kaitan ini, tidak ditemukan fakta bahwa rendahnya kepedulian, kepercayaan, dan partisipasi masyarakat setempat terhadap keberadaan SD, karena lebih berhasrat atau mempercayai lembaga pendidikan lain seperti madrasah atau pondok pesantren (pondhuk ).
3. Psikologi Pendidikan
Psikologi Pendidikan adalah cabang psikologi yang mengkhususkan diri pada pemahaman tentang proses belajar dan mengajar dalam lingkunagn pendidikan. Jadi menurut kami jika dikaitkan dengan proses belajar mengajar di sekolah pada pedesaan Pamekasan ini, masih memiliki banyak kendala. Pembangunan pendidikan bagi masyarakat petani tradisional di pedesaan Kabupaten Pamekasan, di satu sisi, secara kuantitatif telah menunjukkan keberhasilannya di dalam ekspansinya yang menjangkau seluruh pelosok pedesaan hingga ke puncak-puncak gunung. Pertumbuhan jumlah gedung sekolah (SD), guru, sarana dan prasarana fisik (mebeler, buku pelajaran, dan peraga) semakin meningkat dibandingkan sebelum ada kebijakan Inpres sejak tahun 1970-an. Sekalipun belum mencapai kebutuhan rasional. Di sisi lain, secara kualitatif, sekalipun telah mengalami peningkatan, tetapi masih banyak kendala yang bisa merintangi ketercapaian visi dan misi pembangunan pendidikan baik bersumber dari faktor internal, juga eksternal. Kendala internal muncul dari para pelaku pendidikan itu sendiri, baik guru, kepala sekolah, pengawas, maupun Depdiknas kecamatan. Sedangkan kendala eksternal muncul terutama karena masih lemah dan labilnya kepercayaan, kepedulian, partisipasi dan dukungan masyarakat sekitar sekolah.Motivasi masyarakat pedesaan Pamekasan ini masih kurang untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak mereka, dikarenakan mereka lebih mementingkan anak mereka untuk bekerja di sawah membantu orang tua dan lain-lain. Sehingga kendala ini sangat dapat mempengaruhi proses belajar mengajar.
Fenomena : Pendidikan Jarak Jauh.
Berdasarkan jurnal yang telah saya baca tentang fenomena “pendidikan jarak jauh “, fenomena seperti ini merupakan fenomena pendidikan sistem PJJ yang terjadi antara siswa dan guru dalam situasi yang bersifat khusus yaitu keterpisahan mereka satu dari lainnya. Jarak transaksi dalam sistem pendidikan jarak jauh merupakan jarak komunikasi dan jarak psikologis antara siswa dan guru.
Maka, jika di hubungkan pada teori keluarga ulasannya adalah sebagai berikut:
Keluarga adalah wadah pendidikan yang sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan kemandirian anak , oleh karena itu pendidikan anak tidak dapat dipsahkan dari keluarga merupakan tempat pertama kali anak belajar menytakan diri sebagai makhluk social dan berinteraksi dengan kelompoknya. Orang tua ayah dan ibu merupakan orang yang bertanggung jawab pada seluruh keluarga, terutam atanggung jawab motivasi, motivasi terbesar anak-anak adalah orang tuanya maka pada pendidikan jarak jauh motivasi harus secara konsisten diberikan karena pada pembelajaran jarak jauh ini siswa dituntuk lebih mandiri mampu melakukan tugas tugas belajar dengan baik mampu menemukan sendiri apa yang harus dilakukan dan memecahkan masalah di dalam belajar dan tidak bergantung orang pada lain. Maka keluarga berperan sebagai pemberi pola asuh yang baik, Pola asuh orang tua merupakan factor penting yang mempengaruhi kemandirian siswa dalam belajar, dari latar elakang keluarga yang berbeda akan membentuk pola asuh orang tua yang berbeda-beda dan diprediksikan dari pola asuh orang tua yang berbeda-beda itu mempengaruhi kemandirian siswa dalam belajar . dalm pendidikan jarak jauh awalnya orang tua harus lebih memperhatikan dan menbimbing agar kemudian anak tidak bingung dalam proses pembelajaran dan bisa belajar mandiri perlahan-lahan.
Dihubungkan pada teori bimbingan blajar :
Dalam teori bimbingan belajar Pengajaran merupakan proses yang berfungsi membimbing peserta didik di dalam kehidupan, yakni membimbing perkembangan diri yang sesuai dengan tugas perkembangan yang harus dilalui dan dijalankan oleh peserta didik. Guru dibutuhkan untuk membimbing, memberikan bekal sesuatu yang berguna. Sebagai guru harus dapat memberikan sesuatu secara dikdaktis, dengan tugasnya menciptakan situasi interaksi edukatif. Guru tidak cukup mengetahui bahan ilmu pengetahuan yang akan dijabarkan dan diajarkan kepada para peserta didik, tetapi juga harus mengetahui dasar filosofis dan didaktisnya, sehingga mampu memberikan motivasi di dalam proses interaksi dengan peserta.
Dihubungkan dengn teori psikologi pendidikan :
Dalam kasus ini terdapat 3 teori yakni teori Abraham maslow dimana pada pendidikan jarak jauh ini orang tua arus member motivasi pada anak maka disini anak membutuhkan love dan belongingness dari orang tua, lalu teori mc celland terakhir teori skinner dimana saat anak mendapat motivasi dan ditambah dengan reinforcement ositif seperti pujian maka anak akan lebih bertsemangat dan usaha untuk mandirinya lebih besar.
Fenomena : pembelajaran berbasis budaya
Pembelajaran berbasis budaya ini bukanlah sesuatu yang baru, namun dewasa ini sedang marak berkembang di banyak Negara (Pannen, 2004). Teori yang mendasari strategi ini bukan sama sekali teori baru, namun strategi ini dihadirkan untuk membawa nuansa baru dalam proses pembelajaran. Nuansa baru tersebut hadir bukan hanya pada jenjang operasional pembelajaran, namun juga pada perspektif budaya dan tradisi pembelajaran itu sendiri terutama berkenaan dengan interaksi antara guru dan siswa, serta perancangan pengalaman belajar untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Pembelajaran berbasis budaya membawa budaya lokal yang selama ini tidak selalu mendapat tempat dalam kurikulum sekolah, termasuk pada proses pembelajaran beragam matapelajaran di sekolah. Dalam pembelajaran berbasis budaya, lingkungan belajar akan berubah menjadi lingkungan yang menyenangkan bagi guru dan siswa, yang memungkinkan guru dan siswa berpartisipasi aktif berdasarkan budaya yang sudah mereka kenal, sehingga dapat diperoleh hasil belajar yang optimal. Siswa merasa senang dan diakui keberadaan serta perbedaannya, karena pengetahuan dan pengalaman budaya yang sangat kaya yang mereka miliki dapat diakui dalam proses pembelajaran.
di hubungkan pada teori keluarga
Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan adopsi tradisi budaya oleh orang yang belum mengetahui budaya tersebut sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses enkulturasi (enculturation) sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal sebagai proses akulturasi (aculturation). Ke dua proses tersebut berujung pada pembentukan budaya dalam suatu komunitas. Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara informal dalam keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau budaya suatu wilajah. Proses pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh orang tua atau orang yang dianggap senior terhadap anak-anak, atau terhadap orang yang dianggap lebih muda. Tata krama, adat istiadat, keterampilan suatu suku/keluarga biasanya diturunkan kepada generasi berikutnya melalui proses enkulturasi.
Dihubungkan pada teori bimbingan blajar :
Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya, dan belajar melalui budaya (Goldberg, 2000).
1. Belajar tentang budaya, menempatkan budaya sebagai bidang ilmu. Proses belajar tentang budaya sudah cukup kita kenal selama ini, misalnya matapelajaran kesenian dan kerajinan tangan, seni dan sastra, melukis, serta menggambar. Budaya dipelajari dalam satu matapelajaran khusus tentang budaya untuk budaya. Matapelajaran tersebut tidak diintegrasikan dengan matapelajaran yang lain dan tidak berhubungan satu sama lain. Di sekolah tertentu yang mampu menyediakan sumber belajar seperti alat musik dan peralatan drama dalam mempelajari budaya maka matapelajaran budaya di sekolah tersebut akan berkembang relatif lebih baik. Namun banyak sekolah yang tidak memiliki sumber belajar yang memadai sehingga matapelajaran tersebut menjadi matapelajaran hafalan dari buku atau dari cerita guru (yang belum tentu benar). Dengan kondisi seperti itu pada akhirnya, matapelajaran budaya menjadi tidak bermakna baik bagi siswa, guru, sekolah, maupun pengembang budaya dalam komunitas tempat sekolah berada. Inilah gambaran tentang ketidakberhasilan matapelajaran budaya yang sekarang ini ada. Selanjutnya, matapelajaran budaya dan pengetahuan tentang budaya tidak pernah memperoleh tempat yang proporsional baik dalam kurikulum maupun dalam pengembangan pengetahuan secara umum. Sementara matapelajaran lain seperti matematika, sain dan pengetahuan sosial, bahasa Indonesia dan lain-lain, dianggap penting sebagai suatu bukti kemajuan negara. Dengan demikian, matapelajaran budaya semakin tersisihkan.
2. Belajar dengan budaya.
Terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari suatu matapelajaran tertentu. Belajar dengan budaya meliputi pemanfaatan beragam bentuk perwujudan budaya. Dalam belajar dengan budaya, budaya dan perwujudannya menjadi media pembelajaran dalam proses belajar menjadi konteks dari contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu matapelajaran, menjadi konteks penerapan prinsip atau prosedur dalam suatu matapelajaran. Misalnya dalam matapelajaran matematika, untuk memperkenalkan bentuk bilangan (bilangan positif, bilangan negatif) dalam satu garis bilangan, digunakan garis bilangan yang menggunakan Cepot (tokoh jenaka dalam wayang Sunda). Cepot akan memandu siswa berinteraksi dengan garis bilangan dan operasi bilangan.
3. Belajar melalui budaya,
Merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu matapelajaran melalui ragam perwujudan budaya. Belajar melalui budaya merupakan salah satu bentuk multiple representation of learning assesment atau bentuk penilaian pemahaman dalam beragam bentuk. Misalnya, siswa tidak perlu mengerjakan tes untuk menjelaskan tentang proses fotosintetis tetapi siswa dapat membuat poster, membuat lukisan, lagu, ataupun puisi yang melukiskan proses fotosintesis. Dengan menganalisa produk budaya yang diwujudkan siswa, guru dapat menilai sejauh mana siswa memperoleh pemahaman dalam topik proses fotosintesis dan bagaimana siswa menjiwai topik tersebut. Belajar melalui budaya memungkinkan siswa untuk memperhatikan kedalaman pemikirannya, penjiwaannya terhadap konsep atau prinsip yang dipelajari dalam suatu matapelajaran, serta imaginasi kreatifnya dalam mengekspresikan pemahamannya. Belajar melalui budaya dapat dilakukan di sekolah dasar, sekolah menengah, ataupun perguruan tinggi dalam matapelajaran apapun.
Dihubungkan dengn teori psikologi pendidikan :
Sebagaimana diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya beragam perubahan dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk konservasi budaya – transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya. Mengingat besarnya peran pendidikan dalam proses akulturasi maka pendidikan menjadi sarana utama pengenalan beragam budaya baru yang kemudian akan diadopsi oleh sekelompok siswa dan kemudian dikembangkan serta dilestarikan. Budaya baru tersebut sangat beragam, mulai dari budaya yang dibawa oleh masing-masing peserta didik dan masing-masing bidang ilmu yang berasal bukan dari budaya setempat, budaya dari guru yang mengajar, budaya sekolah, dan lain-lain.
Referensi :
Santrock., J.W. (2008). Psikologi Pendidikan (edisi kedua). Jakarta: Prenada Media Group